Monday, November 8, 2010

Fenomena Merapi (part 1)

Sejak beberapa hari menjelang letusan Merapi yang pertama tanggal 26 Oktober 2010, mata dan raga ini tak pernah dapat merasakan lelapnya tidur..dalam dinginnya udara malam di rumahku, yang berjarak radius 15 km dari Merapi. Gemuruh yang sering terdengar dan getaran-getaran kecil gempa yang membuat diri tak tenang. Agak menggontaikan perasaan menjadi cemas dan was-was.

26 Oktober 2010
Selepas shalat Isya' aku pergi tidur, sampai pukul 23.00 ku rasakan gemuruh dari Merapi yang semakin keras. Semakin keras, dan begitu jelas.. Aku masih terdiam dan belum beranjak dari tempat tidurku. Hanya memegang hp dan terdiam beberapa saat.

Tidak lama kemudian pukul 00.20, sontak terkejut dengan suara dentuman yang aku pikir terjadi sesuatu di luar sana. Merapi meletus? pikirku. Aku bergegas memanggil ibuku yang sudah tertidur dikamar, dan saat itu juga kami keluar rumah. Berjalan dan berlari lebih cepat melihat keadaan apakah kami dapat melihat awan panas dari arah Merapi. Ternyata kabut tebal menutupi pemandangan di sana. Hanya gelap dan abu terasa berjatuhan perlahan sedikit demi sedikit, dan kami pun langsung kembali ke rumah.

Sesampai dirumah kembali, para tetangga sudah berlarian keluar rumah. Dini hari sekitar pukul 01.00 hujan turun disertai dengan abu dan pasir pekat, begitu jelas karena teras rumah berwarna merah sudah tampak putih berlumur lumpur. Lima belas menit kemudian suara sirine ambulance terdengar riuh dari arah Pakem dan Cangkringan, perasaan ini semakin panik dan bingung, apakah harus pergi dari rumah atau tetap tinggal. Beberapa menit kemudian nampaknya suasana semakin menegang, dan dari kampung terdengar suara warga memukul kentongan tanda bahaya. Akhirnya kami pun bersiap dan segera pergi meninggalkan rumah, bersama warga lainnya.

Dalam perjalanan, di sepanjang Jalan Kaliurang, jalanan padat merayap. Motor, mobil, ambulance, truk, semuanya bergerak ke arah yang sama--> Jogjakarta. Awalnya berpikir akan mengungsi ke kantor Kecamatan Ngaglik, di sekitar Jalan Kaliurang Km10. Ternyata disana arus kendaraan masih terus turun ke arah selatan. Akhirnya dengan motor yang melaju lambat dan berat karena hujan pasir abu yang semakin tebal, kami meneruskan perjalanan sampai Jl. Kaliurang Km5, di sana kendaraan-kendaraan masih terus melaju ke arah selatan. Namun, kami pikir, hujan sudah rata di Jogja, dan kami sudah sampai ditempat yang lebih aman. Paling tidak, dari bau belerang yang sangat pekat. Di sana kami menuju rumah eyang di Gang Mijil.

Keadaan di luar hujan abu cukup tebal. Di sana, duduk beristirahat dan menunggu sampai pagi. Saling berkabar dengan saudara. Akhirnya setelah shalat subuh, kami memutuskan untuk kembali pulang. Di Jl Kaliurang, tampak putih. Hingga Kota Pakem, terasa seperti kota abu.

...dan akhirnya saat sampai di rumah, rumah dan halaman sudah berlumur abu yang tebal. Dan aku pun kembali ke kamar, untuk beristirahat. Yah, saat itulah baru ku rasakan, beberapa jam dalam perjalanan yang sangat melelahkan... *to be continued*